Pernahkah mendengar sebutan wartawan tanpa surat kabar (WTS),
wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan gadungan? Tentu saja salah satu di
antaranya pernah kita dengar, bahkan mungkin sering. Bagaimana tidak, beberapa hari yang lalu saya kedatangan 4
orang yang mengaku dari ‘media dan LSM,
minta waktu untuk sekedar tanya-tanya mengenai dana bantuan yang di kelola oleh
kami. Sebagai tamu saya temuin mereka dan menjelaskan semuanya secara terbuka. “Bahwa
dana bantuan ini harus tepat sasaran, mohon diawasi penyalurannya. Jika
sekiranya ada temuan silahkan saja laporkan kepada yang berwenang, dan apabila saya
pun melakukan penyelewangan silahkan saja dilaporkan.’ Saya menangkap bahwa
mereka tidak nampak membutuhkan informasi yang saya jelaskan walaupun mereka
minta. Tak lama kemudian mereka permisi, dengan tanpa malu-malunya mereka
meminta uang / amplop alasanya sekedar trasport dan makan siang.
Terus terang saya prihatin melihat keberadaan
tipe wartawan seperti ini. Yakni, orang yang mengaku wartawan atau benar
wartawan, namun menyalahgunakan profesinya dengan tujuan mencari uang. Jelas, ini
melanggar kode etik jurnalistik. Karenanya, ia bukan lagi wartawan profesional,
tetapi menjadi pencemar citra wartawan, maka dari itu harus ditertibkan dan diberatas.
Sebenarnya Fenomena seperti ini
sudah berlangsung sejak lama, tidak bisa dipungkiri dalam kegiatan
jurnalistik kita menemukan hal seperti ini. Bahkan yang patut disayangkan
ada beberapa wartawan tanpa identitas, hal ini tentu saja membuat citra buruk
bagi profesi kewartawanan. Contoh nyata, ada yang mengaku-ngaku wartawan
dan LSM datang ke Pejabat desa, yang
dalam modus operandinya selalu membesar-besarkan masalah kecil, dan pada
akhirnya meminta sejumlah uang bahkan
memeras agar masalahnya tidak di Ekspos. Persoalan ini sunguh serius karena
menyangkut masalah idealisme, etika dan profesionalme para wartawan itu
sendiri. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih keras dan serius, agar era
keterbukaan dan kebebasan informasi saat ini memberikan peluang bagi
terwujudnya pencerahan politik di ranah publik. Pembodohan publik akan kembali
terulang, kalau black jounalist ini terus terpelihara dengan baik.
Karena risiko kemudian yang harus ditanggung sendiri oleh dunia pers adalah
merosotnya kepercayaan publik terhadap media massa .
Kalau pers sudah tidak lagi dipercaya, maka
perkembangan demokrasi akan mengalami kemunduran karena kehilangan pilar yang
kokoh untuk menopang bangunan demokrasi. Pers sebagai pilar keempat demokrasi
menjadi tumpuan di saat pilar lainnya sangat mudah terkontaminasi oleh money
politics. Karena itu, membangun pers yang profesional, yang berdiri di
tengah-tengah berbagai kepentingan dan menjadi alternatif saluran demokrasi
yang netral adalah tugas mulia. dan kondisi saat ini dirasakan sudah sangat
mengganggu. PWI dan dunia pers diharapkan mengambil tindakan yang tegas
terhadap perilaku wartawan yang telah menodai profesi wartawan yang mulia. “ “SELAMAT HARI PERS NASIONAL “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar